Suasana kampus pagi itu tak seperti biasanya. Biasanya, mahasiswa berlalu lalang dengan obrolan ringan tentang tugas atau jadwal kuliah. Tapi hari ini, layar ponsel mereka menampilkan satu hal yang sama, pengumuman dari rektorat.
“Sehubungan dengan kebijakan baru, biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) mengalami penyesuaian. Mohon pengertiannya atas kebijakan ini demi meningkatkan kualitas pendidikan di kampus kita.”
Kata-kata itu terdengar manis, tapi angka-angka di bawahnya tidak. Kenaikan UKT mencapai 50% bagi sebagian mahasiswa. Bagi mereka yang berasal dari keluarga mampu, ini hanya berita pagi yang mengganggu. Tapi bagi yang lain, ini adalah vonis.
Di sudut lorong, semua mahasiswa menatap layar ponselnya dengan dahi mengernyit. “Gila… Serius naik segini?” gumam salah satu dari mereka, masih berusaha mencerna angka-angka yang terasa semakin besar setiap kali ia membacanya ulang.
Sementara itu, di ruang kecil sudut fakultas hukum, Raka sudah lebih dulu bergerak. Tangannya mengetik cepat di laptopnya, merangkai kata kata yang akan segera menyulut gelombang perlawanan.
“UKT naik sepihak, mahasiswa pun dibungkam, dan kita disuruh diam? Jangan harap!”
Diluar sana, langkah-langkah mahasiswa mulai melambat. Bisikan berubah menjadi percakapan. Percakapan berubah menjadi diskusi. Dan dari diskusi itu akan menjadi sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak dapat dihentikan.
Suara mahasiswa mulai bergema.
Alya baru saja selesai makan siang di kantin saat notifikasi dari grup keluarga muncul di ponselnya. Ia membuka chat tanpa ekspektasi apa-apa, mengira hanya pesan basa-basi dari ibunya. Tapi kali ini berbeda.
Ibu: “Alya, tadi adikmu lihat pengumuman UKT kampusmu naik. Dia jadi ragu mau daftar. Gimana ini?”
Kening Alya berkerut. UKT naik? Ia buru-buru membuka website kampus dan menelusuri pengumuman terbaru. Begitu melihat angka-angka di layar, perutnya terasa mual.
“Lima puluh persen lebih tinggi dari tahun lalu? Yang bener aja?”
Ia hampir tidak percaya. Alya memang bukan tipe mahasiswa yang peduli dengan urusan politik kampus. Selama ini, ia hanya fokus kuliah, nongkrong, dan menikmati waktu dengan teman-temannya. Tapi ini? Ini bukan sekadar isu kampus biasa. Ini menyangkut keluarganya sendiri.
Adiknya, Farhan, baru saja lulus SMA dan sejak dulu ingin masuk ke universitas yang sama dengannya. Orang tua mereka sudah menabung bertahun-tahun agar bisa membiayai kuliah Farhan. Tapi kalau UKT naik setinggi ini, bagaimana mereka bisa membayarnya?
Dengan cepat, Alya menelepon Farhan.
“Han, serius kamu jadi ragu daftar?” tanyanya, suaranya sedikit gemetar.
Di seberang sana, Farhan terdengar menghela napas. “Iya kak. Kalau semahal ini, aku ga yakin bisa. Kata ibu, uangnya ga cukup.”
Alya terdiam. Ia tahu betapa adiknya ingin kuliah di sana. Ia juga tahu bahwa orang tua mereka bukan keluarga kaya. Kalau UKT ini benar-benar naik tanpa ada solusi, itu berarti mimpi adiknya bisa saja hancur sebelum dimulai.
Di grup mahasiswa, diskusi tentang kenaikan UKT sudah meledak. Banyak yang mengeluh, marah, dan bingung harus bagaimana. Nama Raka, aktivis kampus yang terkenal vokal, mulai disebut-sebut.
“Mahasiswa harus bersuara.”
“UKT naik tanpa transparansi? Ini perampokan!”
“Kita harus lakukan sesuatu.”
Alya tidak pernah tertarik ikut-ikutan demo atau diskusi semacam ini. Tapi kali ini, ia merasa tak bisa diam. Ini bukan sekadar angka di layar, namun ino masa depan adiknya.
Dengan perasaan campur aduk, ia akhirnya mengetik di grup:
Alya: “Siapa yang bisa jelasin detail soal kenaikan UKT ini? Aku mau tau lebih dalam.”
Pesannya langsung dibanjiri balasan. Dan di saat itu, tanpa sadar, Alya telah mengambil langkah pertamanya menuju perlawanan.
Setelah mengirim pesan di grup mahasiswa, Alya mendapati dirinya tenggelam dalam diskusi yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Pesannya baru saja terkirim beberapa detik, tapi notifikasi langsung meledak.
Putra (Ketua BEM): “Alya, kamu bisa gabung diskusi malam ini di sekre? Kita bakal bahas strategi dan cari solusi.”
Raka: “Bukan cuma diskusi, kita juga perlu aksi. UKT naik ini bukan cuma soal kampus cari duit, tapi ada kemungkinan penyalahgunaan dana. Kamu harus liat data yang udah kita kumpulin.”
Alya menatap pesan-pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ia memang ingin tahu lebih dalam, tapi bergabung dengan mereka berarti benar-benar melibatkan diri. Ia menghela napas panjang, lalu mengetik:
Alya: “Oke, aku dateng.”
Malam itu, sekre BEM lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa dari berbagai jurusan duduk melingkar, wajah mereka serius. Di tengah ruangan, Raka berdiri sambil menunjuk layar laptop yang menampilkan data keuangan kampus.
“Aku sama temen temen yang lain udah cari laporan keuangan taun lalu dan ngebandingin itu yang sekarang,” kata Raka, suaranya penuh keyakinan. “Dan ada yang ga masuk akal. Taun lalu, dana operasional kampus cukup stabil. Tapi tiba-tiba, taun ini mereka bilang butuh tambahan dana besar? Uang itu ke mana?”
Alya menyimak dengan saksama. Selama ini, ia pikir kenaikan UKT hanyalah masalah biasa, tapi ternyata ada kemungkinan permainan di baliknya.
Putra, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Kita ga bisa tinggal diem. Kita perlu mendesak pihak kampus buat transparan. Kalau ga ada kejelasan, kita ajuin audiensi. Dan kalau itu gagal…”
Dia berhenti sejenak, menatap mereka satu per satu.
“Kita turun ke jalan.”
Ruangan langsung riuh. Beberapa mahasiswa setuju, tapi ada juga yang ragu.
“Kamu yakin? Demo bakal bikin kita dicap buruk sama rektorat!” seru salah satu mahasiswa.
Putra tertawa sinis. “Dicap buruk lebih baik daripada diperas diam-diam.”
Alya mengepalkan tangan. Ini bukan dunia yang biasa ia masuki, tapi sekarang ia sudah di sini. Dan ketika mengingat wajah adiknya yang ragu-ragu untuk daftar kuliah, ia tahu satu hal, ia tidak akan diam saja.
“Apa pun yang kita putuskan,”
“Aku ikut.”
Dan dengan itu, malam itu menjadi awal dari gerakan yang lebih besar.
Keesokan harinya, diskusi yang semalam hanya ada di ruangan sempit itu mulai menyebar ke seluruh kampus. Media sosial dipenuhi tagar #PendidikanBukanTambangUang, mahasiswa mulai saling berbagi pengalaman mereka, dan beberapa orang yang awalnya ragu mulai ikut bersuara.
Di kantin, Alya duduk dengan ponselnya, membaca komentar demi komentar.
“Aku anak pertama, adikku harusnya bisa kuliah juga tahun depan. Tapi kalau UKT naik segini, kayanya ga mungkin.”
“Beneran ga masuk akal sih. Kemarin aja gedung baru kampus belum selesai, sekarang UKT malah dinaikin?”
“Mau ikut audiensi, tapi takut dosen bakal lihat kita sebagai mahasiswa pembangkang HAHAHA”
Alya menghela napas. Semakin ia membaca, semakin ia sadar bahwa masalah ini jauh lebih besar dari dirinya sendiri.
Tiba-tiba, Raka muncul dan duduk di seberangnya. “Kamu siap?” tanyanya singkat.
Alya menatapnya bingung. “Siap apa?”
“Siap lihat gimana kampus bakal coba ngebungkam kita.”
Audiensi dengan pihak rektorat akhirnya dijadwalkan. Ruang rapat dipenuhi oleh perwakilan mahasiswa, termasuk Alya, Raka, Putra, dan beberapa mahasiswa lain dari berbagai fakultas.
Di seberang meja, duduklah para petinggi kampus dengan ekspresi datar.
“Kami memahami keresahan kalian,” kata salah satu pejabat kampus, suaranya terdengar berusaha menenangkan. “Namun, ini adalah keputusan yang sudah melalui banyak pertimbangan. Kami harap mahasiswa bisa menerima dengan bijak.”
Raka mengangkat tangan. “Bisa dijelaskan dana tambahan itu akan digunakan untuk apa pak?”
Seorang petinggi lain tersenyum tipis. “Tent ini demi meningkatkan kualitas fasilitas dan layanan akademik.”
“Tapi laporan keuangan tahun lalu menunjukkan bahwa pemasukan kampus masih stabil. Kenapa tiba-tiba ada kekurangan dana?” tanya Putra.
Tak ada jawaban yang memuaskan. Mereka hanya terus berbicara dengan bahasa formal yang berputar-putar, seolah mencoba mengulur waktu tanpa benar-benar menjawab.
Setelah satu jam diskusi yang tidak menghasilkan apa pun, akhirnya mahasiswa dipersilakan keluar dengan janji bahwa rektorat akan meninjau kembali kebijakan ini.
Tapi mereka tahu. Itu hanya alasan untuk membungkam mereka lebih lama.
Begitu keluar dari ruang audiensi, Raka menghela napas panjang. “Kita ga bisa berharap mereka bakal berubah pikiran begitu aja.”
Alya mengepalkan tangannya. “Kalau gitu, kita pake cara lain.”
Putra menoleh. “Maksudmu?”
Alya menatap mereka dengan serius. “Kita buat gerakan yang lebih besar. Sesuatu yang ga bisa mereka abaikan.”
Hari demo akhirnya tiba. Ratusan mahasiswa berkumpul di depan gedung rektorat, mengenakan pakaian hitam sebagai simbol perlawanan. Spanduk bertuliskan “UKT Naik, Mahasiswa Tertindas” dan “Pendidikan Bukan untuk Orang Kaya Saja” berkibar di udara.
Alya berdiri di tengah kerumunan, melihat ke sekeliling. Ini lebih besar dari yang ia bayangkan.
Raka maju ke depan, memegang megafon. “Kita di sini bukan untuk membuat kekacauan. Kita di sini untuk meminta hak kita! UKT naik tanpa transparansi adalah bentuk ketidakadilan. Kita hanya ingin jawaban yang jujur!”
Sorakan menggema. Mahasiswa bertepuk tangan, meneriakkan tuntutan mereka.
Tapi tiba-tiba, barisan satpam kampus mulai maju. Mereka diperintahkan untuk membubarkan para mahasiswa.
Putra buru-buru berbicara ke arah mahasiswa. “Ingat, kita damai! Jangan terpancing!”
Namun, dorongan kecil berubah menjadi kericuhan. Beberapa mahasiswa ditarik ke samping, termasuk Raka.
“Alya! Pergi dari sini!” teriaknya sebelum dia dibawa masuk ke dalam gedung.
Alya tertegun. Hatinya berdebar. Ini sudah di luar ekspektasinya. Tapi jika ia pergi sekarang, apa yang terjadi dengan gerakan ini?
Ia menghela napas, lalu melangkah maju.
“Jangan takut!” serunya. “Kita di sini bukan untuk membuat onar, kita di sini untuk meminta hak kita! Kita harus tetap berdiri!”
Mahasiswa kembali bersorak. Suara mereka semakin keras, semakin kuat.
Setelah tekanan yang semakin besar, akhirnya pihak kampus setuju untuk membuka laporan keuangan mereka. Beberapa dana yang mencurigakan akhirnya terungkap, dan UKT tidak jadi naik setinggi yang direncanakan.
Tapi bukan tanpa konsekuensi. Beberapa mahasiswa, termasuk Raka, Putra dan Alya mendapat peringatan akademik.
Saat Alya bertemu Raka di kantin setelah semua ini berakhir, ia hanya bisa tersenyum kecil.
“Kamu nyesel ga?” tanya Raka.
Alya menggeleng. “Ga. Kalau aku ga ikut, aku ga bakal tau kalau suara mahasiswa bisa sebesar ini.”
Raka tertawa. “Kita berhasil, kan?”
Alya menatap layar ponselnya, melihat ber
ita tentang perubahan kebijakan UKT. Ia menghela napas lega.
“Ya,”
“Kita berhasil.”
Komentar
Posting Komentar